Minggu, 24 Mei 2020

Hening Syawal

Hari ini, jatuh 1 Syawal 1441 H. Seperti Ramadhan yang hening yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, lebaran kali ini pun tak jauh berbeda.
Kita dihimbau untuk tidak melakukan takbir keliling, kemudian dihimbau untuk  melaksanakan sholat Ied di rumah, dan dihimbau pula agar tidak melakukan pertemuan halal bi halal dan semacamnya yang membuat sekelompok orang berkumpul secara ramai, sebagai salah satu upaya pencegahan penularan covid-19.
Saya ingat betul, beberapa minggu lalu seorang teman tiba-tiba mengirim pesan melalui chat di messenger Facebook saya. Dalam hati, sudah lama sekali nggak ngobrol sama teman saya yang satu ini. Sedikit say hi, kemudian dia bercerita bahwa dirinya terkena dampak negatif dari covid 19 berupa PHK. ya, dia di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Saya sadar betul, ya, memang kondisi ini telah menguji banyak orang dalam segala lapisan. Sampai-sampai teman saya, yang terkenal pintar ini pun, bisa di PHK oleh kantornya di perantauan. Dia memutuskan tak pulang ke rumah karena takut menjadi carrier, pembawa virus, mengingat orangtuanya di rumah sudah cukup berusia. Dia bercerita bahwa dia akan berusaha untuk survive dan mencari penghasilan dengan cara lain di perantauan.
Bukan hanya teman saya, tapi ada banyak orang yang senasib dengannya. Atau, jika mereka lebih beruntung, mereka tidak terkena PHK, tapi, tidak bisa mudik ke kampung halaman karena pembatasan dari pemerintah.
Jadi, lebaran kali ini banyak sekali orang yang tidak bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. 
Di rumah saya, kami menyiapkan beberapa kudapan khas hari raya untuk menjamu tamu yang datang bersilaturahim. Malam takbiran, biasanya stoples penuh camilan yang lezat sudah tertata rapi di atas meja ruang tamu. Tahun ini pun begitu.
Shalat Ied di rumah saja, sedih, memang. Momen kemenangan, yang biasanya menjadi momen bahagia berkumpul dengan saudara-saudara di masjid ketika sholat Ied, tahun ini tidak bisa dinikmati. Tapi, di sisi lain, sholat Ied bersama keluarga, entah kenapa menjadi satu momen menyentuh buat saya. Salah satunya ketika ayah saya membacakan takbir dan terdengar beliau terisak di depan kami, di posisinya sebagai imam. Seketika ibu juga ikut menitikkan air mata. Saya dan adik saya pun juga. Ada keprihatinan, tapi di sisi lain kami sangat bersyukur Allah menghimpun kami dalam satu ruang penuh kehangatan ini seolah kami baru sadar Tuhan begitu dekat dan selalu melihat kami.
Selesai, kami saling bermaaf-maafan. Selepas itu, kami duduk-duduk di ruang tamu menikmati kudapan yang tertata diatas meja sejak semalam. Ya, kami menyiapkannya, duduk disana dan menikmatinya sendiri. Sedih, tapi jadi semakin terasa syukurnya, karena kami masih bisa duduk dengan makanan-makanan sederhana yang enak, di tengah kondisi yang memprihatinkan ini.
Tentu, kami berharap pandemi ini segera berakhir, namun demikian, kami berharap bahwa rasa syukur dan perasaan dekat denganNya itu masih tetap terus ada meski nanti pandemi ini telah berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar