Senin, 12 Oktober 2020

Sexual Harrasment dan Gender stereotype

Kita bicara soal pelecehan seksual yuk!

Saat ini yang berkembang di masyarakat pada umumnya korban dari pelecehan seksual adalah perempuan. -meskipun sebenarnya bisa saja menimpa laki-laki juga-. Seringnya karena perempuan distereotipkan sebagai gender yang lemah tak berdaya, dikaitkan pula dengan perempuan dianggap makhluk yang indah, -bahkan dibilang sumber fitnah-, dan mengundàng syahwat, akibatnya ketika perempuan menjadi korban pelecehan seksual, dia akan disalahkan dan langsung 'dipelototi' terlebih dahulu. Tak jarang berakhir dengan "oh, lha bajumu seksi", "oh, lha kamu deket2 laki2" "oh lha km keluar malem2" dst. Intinya, adalah salah perempuan, dialah yang memicu dirinya sendiri menjadi korban pelecehan dan wajar2 saja kalau dia diperlakukan demikian (dilecehkan) ya, karena memang pantas dia diperlakukan begitu atas akibat dari kesalahannya sendiri. Sementara, laki2 kerap diasosiasikan sebagai kucing, buaya, dsb. Kebrengsekannya didanggap sebuah kewajaran. "Kucing dikasi ikan asin ya wajar aja dong". Sungguh, logika yang cacat namun menjadi pola pikir yang sudah turun temurun.

Keselamatan setiap gender sebenarnya adalah tanggungjawab kita bersama. Kuta sama-sama harus menyadari dan menjaga bahwa memang berbuat tidak baik, apapun bentuknya itu adalah tidak baik. Bukankah bodoh ketika kita membenarkan sebuah tindakan kejahatan dengan alasan korban memang pantas untuk dilecehkan? Adakah manusia di dunia ini yang pantas untuk dilecehkan?

Ya, memang tidak bisa dipungkiri, masih banyak masyarakat kita yang nggak ngerti apa itu consent. Jadi, kadang, dengan stereotip bahwa laki-laki itu strong dan superior, maka perempuan sudah sepantasnya 'mumpet' untuk menyelamatkan diri. Padahal, sekali lagi...pelecehan seksual bisa terjadi pada semua gender. "Seksi banget...rahimku anget" bla bla...merupakan salah satu contoh pelecehan seksual pada laki-laki. Hanya saja  hal ini menjadi bias karena mungkin perempuan dianggap "cuman komen" dan dari pemikiran yang mewajarkan pelecehan seksual inilah, masyarakat kita bisa jadi semakin abai dengan isu pelecehan seksual. Padahal, korban pelecehan seksual atau penyintas mengalami kerugian. Tak sedikit kasus kriminal yang kita saksikan di media mengenai pelecehan seksual diikuti juga dengan tindakan kriminal lain seperti kekerasan, penganiayaan, perampokan, hingga pembunuhan.

Dan, menariknya tak sedikit dari masyarakat kita akan berpendapat bahwa "udah tau mau diperkosa itu ya ngelawan" "udah tau disentuh tu ya kabur kek lapor polisi kek blah blah" seribu komentar bodoh yang zero emphathy. Jarang òrang mikir bahwa menjadi korban pelecehan itu berat dan gak semua orang bisa berfikir seperti apa yang dikomentarkan orang-orang. Tak semudah itu keadaannya. Tapi, orang gak akan tau sebelum dia sendiri yang jadi korban kriminal. -but i hope, loe gak perlu ngalamin buat ngubah pikiran loe-

Selasa, 08 September 2020

Hari Bersamanya






Mohon Tuhan

Untuk kali ini saja

Beri aku kekuatan untuk menatap matanya


Mohon Tuhan

Untuk kali ini saja

Lancarkanlah hariku

Hariku bersamanya

Hariku bersamanya

(Sheila on 7-Hari Bersamanya)


Belakangan ini (sebulan ini kali ya) jadi suka banget sama lagu ini. Yap...sebuah lagu tentang betapa deg degannya mau ketemu seseorang. Gebetan sih, tepatnya. Dan betapa cemasnya, betapa insecurenya. Ada perasaan takut, takut banget kalau bikin orang yang disukain jadi merasa nggak nyaman.

Jujur ni ya, kadang dengerin lagu ini di sisi lain gak selalu relate sama hubungan percintaan sih. Kadang, kalo dengerin lagu ini, aku sering banget ngerasa relate banget sama realita atau sesuatu hal yang baru yang akan kita hadapi setiap harinya. Di satu sisi, kadang bisa aja kan manusia merasa takut, karena yaa memang kita tak 'sekuat' itu, jadi wajarlah jika kadang memiliki ketakutan tuk menghadapi hari dan dunia. Dan yah...di saat begitu, Mohon Tuhan...Mohon Tuhan...

Yes, cuman bisa berharap Tuhan akan berikan kekuatanNya buat kita agar lebih berani menghadapi hari. Karena nyatanya, ya emang kita itu apasih...remahan rengginang. Hehehe

Dengerin lagu ini, bisa nyentuh banget, sih. Asli.

Dengerin lagu ini, kadang bisa jadi moodbooster buat kita lebih pasrah sekaligus berani karena merasa Tuhan kan selalu menyertai.

Dan, dengerin lagu ini, kadang juga bisa bikin air mata jatuh ketika kita emang bener-bener merasa lagi ada di bawah dan gak punya daya apa-apa, tapi kita tetap gak boleh menyerah untuk menghadapi apapun di depan sana.


Makasi Sheila on 7 udah buat lagu yang se dalem ini maknanya.

Minggu, 24 Mei 2020

Lebaran dan Esensi Saling Bermaafan

Ya, lebaran di tengah pandemi ini rasanya sangat berbeda dari lebaran-lebaran sebelumnya.
Biasanya, kita bisa berkumpul, berjabat tangan, saling bercengkrama, ditanya ini-itu, termasuk pertanyaan mengganggu seperti "kuliah dimana?" "Kerja apa?" "Kapan kawin?" "Kapan punya anak?" Dst.
Lebaran kali ini, kita diberi ketenangan oleh Allah Swt.
Sesuai dengan himbauan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial, akhirnya silaturahim yang biasanya menjadi ciri khas hari raya ini pun tidak bisa dilakukan, dan sebagai alternatifnya, mengingat kita hidup di era digital yang pesat, silaturahim dan tradisi halal bi halal pun dilakukan melalui daring. Pagi ini, mungkin sebagian besar orang disibukkan dengan memasang status ucapan selamat hari raya, kemudian mengirim ucapan secara pribadi untuk kerabat yang ada dalam kontak, atau bahkan ada juga yang melakukan telepon atau video call demi bisa mengucapkan selamat hari raya dan memohonkan maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Pagi ini, seperti biasa, saya mengirim pesan khas idul fitri tersebut untuk kerabat saya. Terutama yang sudah saya anggap seperti orangtua sendiri, yakni guru dan dosen-dosen saya.
Yah, begitulah khasnya hari raya. Di dalamnya tetap ada ciri khas hari raya yang bahkan tidak hilang karena pengaruh pandemi. Yaitu tradisi saling memaafkan. Dan tradisi saling memohon maaf melalui sosial media bukanlah hal baru, sebenarnya. Tapi ada satu hal yang saya tidak pernah tidak menemuinya setiap hari raya tiba. Yaitu, ketika sebagian orang berfikir bahwa meminta maaf melalui sosial media itu tidaklah sopan dan terkesan tidak sungguh-sungguh. Dilihat dari? Karena itu bukan ucapan langsung, lebih seperti ucapan atau puisi yang bisa di copas sesuka hati untuk dikirim. Well, saya bukan termasuk orang yang anti dengan sistem ini. Saya bisa memahami bahwa intinya semua orang, di hari raya ini menginginkan dirinya ikut menjadi bagian, dan sekaligus ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Terlepas dari apakah meminta maaf itu sopan atau tidak dalam standar sebagian orang.
Pagi ini  seperti biasa, Rena, teman saya yang beragama katholik mengirim ucapan selamat hari raya untuk saya, sekaligus memohon maaf lahir dan bathin. Entah, apakah dia mengarang kata-kata itu sendiri atau terinspirasi dari kiriman orang lain (baca:copas). Bagi saya, itu tidak penting. Saya, sangat menghargai niatannya untuk menyampaikan itu kepada saya.
Ya, demikian halnya dengan orang-orang lain yang mengirim pesan copasnya kepada saya. Insya Allah, saya yakin orang itu tetap memiliki kesadaran bahwa pesan yang dikirimnya adalah sebuah permohonan maaf lahir dan bathin, dan saya akan insya Allah juga akan memaafkan sebagaimana saya berharap dimaafkan juga.
Biasanya, dari pesan itu, percakapan akan berlanjut dan di situlah silaturahim kemudian tersambung kembali dengan rasa yang lebih indah karena diawali dengan saling memaafkan.
Oh tapi...saya tentu tidak akan menentang orang-orang yang berfikir bahwa tindakan seperti itu (mengirim ucapan selamat hari raya dan mohon maaf yang -kayaknya- copas atau broadcast message) loh! Hehe. Silahkan saja berfikir demikian, insya Allah saya bisa memahaminya. Ada sebagian orang yang memilih untuk tidak membalas pesan yang terkesan copas, seolah tak ditujukan secara pribadi untuknya. Saya bisa memahami sudut pandang itu. Dan, adalah hak Anda untuk membalas atau mengabaikan pesan itu.
Tapi, saya berfikir, entah diucapkan secara langsung ataupun tidak, esensi dari meminta maaf dan saling memaafkan bukanlah pada metode penyampaiannya. Bukan tidak mungkin, orang yang meminta maaf secara langsung, berjabat tangan, juga 'copas' karena ucapannya adalah ucapan yang sudah biasa diucapkannya pada hari raya, dan tidak diikuti dengan niat kesungguhan meminta maaf. Kita tidak pernah tahu itu. Saya ingat pesan alm salah satu guru saya pernah berkata, bahwa pada dasarnya kembali suci adalah kembali pada fitrah dimana manusia memiliki banyak kekhilafan, maka memohon ampunlah kepada Yang Maha Kuasa. Salah satu caranya adalah, dengan memaafkan sesama. Maafkanlah sesama sebagaimana kita berharap Tuhan memaafkan kita. Bahkan diucapkan atau tidak, semestinya kita sama-sama menyadari bahwa kita memiliki kesalahan baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia, dan sekaligus menyadari bahwa kita harus menjadi manusia yang mau memaafkan, karena nyatanya kita sendiri pun tidak sempurna.

Memohon maaf, dan memaafkan. Nyatanya bukan sekedar bagaimana metode penyampaiannya, tapi juga bagaimana kita benar-benar menginsyafi kesalahan dan sekaligus memaafkan kekhilafan orang lain. Jawabannya ada di dalam hati kita masing-masing. Sudah benarkah kita dalam memahami esensi saling memaafkan?

-mohon maaf atas kesalahan prasangka, tutur kata dan perbuatan. Semoga Allah mengampuni kita semua-

Hening Syawal

Hari ini, jatuh 1 Syawal 1441 H. Seperti Ramadhan yang hening yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, lebaran kali ini pun tak jauh berbeda.
Kita dihimbau untuk tidak melakukan takbir keliling, kemudian dihimbau untuk  melaksanakan sholat Ied di rumah, dan dihimbau pula agar tidak melakukan pertemuan halal bi halal dan semacamnya yang membuat sekelompok orang berkumpul secara ramai, sebagai salah satu upaya pencegahan penularan covid-19.
Saya ingat betul, beberapa minggu lalu seorang teman tiba-tiba mengirim pesan melalui chat di messenger Facebook saya. Dalam hati, sudah lama sekali nggak ngobrol sama teman saya yang satu ini. Sedikit say hi, kemudian dia bercerita bahwa dirinya terkena dampak negatif dari covid 19 berupa PHK. ya, dia di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Saya sadar betul, ya, memang kondisi ini telah menguji banyak orang dalam segala lapisan. Sampai-sampai teman saya, yang terkenal pintar ini pun, bisa di PHK oleh kantornya di perantauan. Dia memutuskan tak pulang ke rumah karena takut menjadi carrier, pembawa virus, mengingat orangtuanya di rumah sudah cukup berusia. Dia bercerita bahwa dia akan berusaha untuk survive dan mencari penghasilan dengan cara lain di perantauan.
Bukan hanya teman saya, tapi ada banyak orang yang senasib dengannya. Atau, jika mereka lebih beruntung, mereka tidak terkena PHK, tapi, tidak bisa mudik ke kampung halaman karena pembatasan dari pemerintah.
Jadi, lebaran kali ini banyak sekali orang yang tidak bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. 
Di rumah saya, kami menyiapkan beberapa kudapan khas hari raya untuk menjamu tamu yang datang bersilaturahim. Malam takbiran, biasanya stoples penuh camilan yang lezat sudah tertata rapi di atas meja ruang tamu. Tahun ini pun begitu.
Shalat Ied di rumah saja, sedih, memang. Momen kemenangan, yang biasanya menjadi momen bahagia berkumpul dengan saudara-saudara di masjid ketika sholat Ied, tahun ini tidak bisa dinikmati. Tapi, di sisi lain, sholat Ied bersama keluarga, entah kenapa menjadi satu momen menyentuh buat saya. Salah satunya ketika ayah saya membacakan takbir dan terdengar beliau terisak di depan kami, di posisinya sebagai imam. Seketika ibu juga ikut menitikkan air mata. Saya dan adik saya pun juga. Ada keprihatinan, tapi di sisi lain kami sangat bersyukur Allah menghimpun kami dalam satu ruang penuh kehangatan ini seolah kami baru sadar Tuhan begitu dekat dan selalu melihat kami.
Selesai, kami saling bermaaf-maafan. Selepas itu, kami duduk-duduk di ruang tamu menikmati kudapan yang tertata diatas meja sejak semalam. Ya, kami menyiapkannya, duduk disana dan menikmatinya sendiri. Sedih, tapi jadi semakin terasa syukurnya, karena kami masih bisa duduk dengan makanan-makanan sederhana yang enak, di tengah kondisi yang memprihatinkan ini.
Tentu, kami berharap pandemi ini segera berakhir, namun demikian, kami berharap bahwa rasa syukur dan perasaan dekat denganNya itu masih tetap terus ada meski nanti pandemi ini telah berakhir.

Hening Ramadhan

Ramadhan telah berlalu. Tahun ini, semua pasti mengalami pengalaman berbeda dari Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, bahkan seumur-umur hidupnya di dunia. Yah, efek dari pandemi covid 19 ini memang dahsyat, membuat kita, bahkan tidak bisa bertemu dengan sanak saudara demi menjaga keselamatan diri dan orang lain. Tarawih, di tempat saya ditiadakan. Jadi, sangat sunyi rasanya bulan Ramadhan lalu yang malam biasanya ramai suara seruan shalawat di sela shalat tarawih, sampai suara tadarus, kemudian tak terasa dibangunkan oleh suara riuh anak-anak membangunkan sahur dengan berkeliling kampung membunyikan alat musik seadanya. Sunyi. Semua itu tidak bersuara lagi.
Tapi, di sisi lain, kita juga patut bersyukur, ketika pandemi ini pun, membawa berkah bagi kita untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Shalat jamaah di rumah bersama-sama. Saling membangunkan sahur, dan mengisi kesunyian ramadhan dengan meramaikan rumah melalui tadarus. Semua seolah ter set untuk menjadikan kita lebih khusyu meraba kedalaman spiritual kita dengan Sang Pencipta.
Ditambah lagi dengan pemberlakuan pembatasan sosial, membuat banyak orang mengurungkan niat untuk mengikuti buka bersama yang biasanya begitu hits ketika Ramadhan tiba.
Jujur, saya termasuk orang yang nggak rela banget kalo waktu Ramadhan ini diganggu gugat, terutama di jam-jam krusial setelah berbuka puasa. Rasanya, dibandingkan berkumpul di restoran atau rumah seseorang, jika boleh memilih, saya tidak mau kehilangan momen untuk berduaan saja dengan Yang Diatas.
Well, yah, sebagian orang mungkin akan mengatakan saya naif, atau sok, atau kaku, atau apalah itu. Tapi memang, jujur saja, ketenangan di bulan Ramadhan yang penuh sentuhan spiritual itu begitu mahal buat saya. Jadi, rasanya sangat sayang sekali jika harus kehilangan 1 malam saja di waktu-waktu tersebut, sekalipun niatnya untuk menjalin silaturahim. Hmm saya suka silaturahim, tapi lebih suka sendiri saja di jam-jam tersebut. Hehehe. Ini opini pribadi.
Kecuali kalau saya memang sedang tidak bisa menjalankan ibadah tersebut, maka saya bisa pertimbangkan untuk ikut buka bersama. Tapi lebih banyak, perasaan saya lebih nyaman untuk me-time dan mencari ketenangan sendiri. Dan, covid 19 ini membuat saya mudah tanpa harus menolak sana-sini ajakan buka bersama.
Tahun ini saya belajar memaknai Ramadhan bukan hanya sekedar euforia. Bukan nuansa meriahnya, namun bagaimana Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa Ramadhan adalah menghidupkan diri dalam kesunyian, meramaikan hati dengan cinta kepadaNya, meski dalam kesendirian.
Saya berharap, semoga covid 19 ini segera berakhir, tentu saja. Tapi di sisi lain, saya berdoa semoga jika Allah menghendaki saya bertemu Ramadhan-Ramadhan selanjutnya dalam hidup saya, saya masih bisa menikmati momen indah mendekat padaNya, dengan kekhusyu-an seperti Ramadhan tahun ini.

Kamis, 07 Mei 2020

眠れない夜 Can't sleep

I'm telling you
I softly whisper
Tonight...tonight...
You are my angel

愛してるよ
2人は1つに
Tonight...tonight...
I just to say

Wherever you are i always make you smile
Wherever you are i always by your side
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

I don't need a reason
I just want you, baby
Alright...alright...
Day after day

この先永いことずっと
どうかこんな僕とずっと
死ぬまで、stay with me
We carry on

Wherever you are i always make you smile
Wherever you are i always by your side
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

Wherever you are i never make you cry
Wherever you are i never say goodbye
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

僕らが出逢った日は
2人にとって1番目の記念すべき日だね
そして今日という日は
2人にとって2番目の記念をすべき日だね

心から愛せる人
心から愛しい人
この僕の愛の真ん中には
いつも君がいるから

Wherever you are i always make you smile
Wherever you are i always by your side
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

Wherever you are
Wherever you are
Wherever you are

(ONE OK ROCK-Wherever You Are)


Hahaha...lagu lama banget ya.
Iyasih. Gatau kenapa malam ini dengerin lagu ini jadi ngerasa,

Betapa beruntungnya mereka yang bisa saling mencintai seperti lagu ini. Baiklah, aku iri banget haha. Bisa gak, 'cinta' terasa seindah yang diungkapkan di dalam lagu ini?

Well...
Aku suka banget kata-kata ini "wherever you are, i always by your side".
Entah kenapa seluruh lirik di lagu ini sejalan banget sama definisi cinta menurutku pribadi. Dia give give give give wkwkwk, lebih banyak mengungkapkan upaya dia untuk mewujudkan rasa cinta itu berfokus pada yang dicintai, bukan tentang perasaan dia melulu. Mungkin karena saking cintanya ya, jadi dia sebegini pengen menyamankan yang dicintainya.
Baiklah, Moriuchi Takahiro, makasi udah buat lagu se baper ini.

Jumat, 17 April 2020

Ikan Cupang dan Makhluk Ter-egois

Malam ini, ingin sekali menulis disini. Sambil mblebes mili, aku menulis disini tepat pukul 22:56. Sesekali boleh kan, aku mellow...kali ini benar-benar aku merasa hatiku sedang 'disentuh' oleh Tuhan semesta alam.

Berawal dari sebuah kejadian menyedihkan. Aku berniat ke kamar mandi. Seperti biasa, di kamar mandi aku selalu lihat ke bawah (lantai) dan aku selalu merasa ganjal apabila ada benda terjatuh atau mengotori lantai, misalnya rontokan rambut, atau air sabun sisa mandi, atau busa detergen atau apapun itu. Aku akan segera menyiramnya, baru setelah itu bisa memakai kamar mandi. Kali ini, baru membuka pintu dan berjalan sejangkah masuk ke kamar mandi, aku melihat sesuatu yang bening tergeletak di lantai. Sempat kukira itu -maaf- ingus atau apa dan aku sudah siap-siap mau menyiramnya dengan air, ketika tiba-tiba aku sadar itu adalah bangkai seekor ikan!
Ya, di dalam bak mandi kami, kami memelihara ikan cupang karena himbauan pemerintah supaya jentik-jentik nyamuk tidak ada di dalam bak mandi. Seperti kita tahu, bahwa nyamuk yang berkembangbiak pesat akan menyebabkan sakit demam berdarah. Karena itu, pemerintah di daerah kami sangat keras menghimbau agar jangan sampai dalam bak terdapat jentik nyamuk. Bahkan, konon, ada dendanya. Untuk mengontrol hal ini, yang bertujuan tentunya membuat masyarakat sehat, diadakan monitoring oleh ibu-ibu yang sudah ditentukan dalam jadwal pengecekan. Seminggu sekali, ada 2 ibu-ibu, secara terjadwal datang ke rumah untuk memeriksa seluruh tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk. Terutama bak mandi dan tempat penampungan air.
Kembali ke ikan mati. Aku langsung memungut ikan itu. Ikan betina. Di dalam bak, tersisa 1 ekor ikan cupang jantan yang berdiam saja di dasar bak. Tak seperti biasa yang berenang kesana kemari.
Entah bagaimana ikan betina ini bisa berada di lantai. Entah karena ia meloncat sendiri (yang agaknya mustahil), atau kemungkinan terbesar, yaitu kecerobohan kami yang membiarkan kran air menyala sampai meluap-luap. Singkatnya, ikan itu sudah mati.
Hal yang menyedihkan, tiba-tiba aku teringat ikan itu ada di dalam bak kami baru sekitar 1 bulan. Sengaja membeli sepasang, jantan dan betina agar ikannya tidak kesepian (logika kami berpikir demikian, entah realitanya bagaimana). Keduanya begitu cantik berwarna oranye keemasan. Sepasang ikan ini datang untuk menggantikan seniornya yang baru saja mati juga. Mati, karena tau-tau aku mendapatinya ada di dasar bak, diam saja seperti pingsan. Kami ambil, masih hidup. Tapi nyata bahwa ikan ini lemas. Sisiknya berdiri. Aku tak mengerti kenapa, kemudian aku cari di google informasi tentang ikan cupang dengan gejala demikian dan aku temukan bahwa ikan cupang dengan kondisi seperti itu, kemungkinan hidupnya sangat kecil, alias, dia sebentar lagi akan mati.
Aku coba beberapa tips yang kudapatkan dari google. Sembari mencoba, aku menyadari sesuatu bahwa ternyata ikan yang awalnya berwarna merah kebiruan seperti beludru itu warnanya sudah pudar. Nah, hal itu pula yang terjadi pada ikan kami sekarang.
Aku penasaran, apa yang membuatnya demikian? Ternyata, salah satu penyebabnya adalah, kualitas air yang jelek dan tidak sehat. Menyebabkan ikan berumur pendek dan cepat mati.
Bukan, bukan beracun. Tapi kualitas air tidak baik. Karena ini air PDAM, hmm mungkin karena kandungan bahan kimianya yang tidak bisa ditoleransi ikan? Entahlah...
Tapi, dari kejadian ini aku menyadari satu hal. Keegoisan manusia. Demi untuk menyelamatkan dirinya dari derita, sakit, misalnya, manusia tak segan untuk mengorbankan makhluk lain yang baginya, mungkin nyawa makhluk itu tidak punya arti dan harga. Jika mati, buang saja. Mudah. Beli yang baru, kalau mati, beli lagi. Yang penting tidak ada jentik.
Entah mengapa...aku merasa memelihara ikan cupang di dalam bak yang jelas-jelas airnya tidak sehat adalah sebuah upaya menjaga kesehatan manusia sebagai keutamaan, yang dalam perjalanannya sama saja seperti membunuh makhluk Tuhan yang memberikan manfaat itu, secara pelan-pelan.
Manusia menyepelekan nyawa ciptaan Tuhan, demi kepentingannya, menjaga dirinya bertahan hidup dan sehat. Bukan hanya kami, banyak. Dan bukan hanya berupa ikan cupang di bak mandi, banyak hal lain yang serupa.
Kita, manusia mengupayakan hidup yang nyaman dan sehat dalam rangka memperpanjang umur kita.

Sebenarnya untuk apa sih kita mengusahakan diri berumur panjang?
Apa yang ingin kamu lakukan dengan umur panjang?


Untuk menikmati hidup ini, dan menyakiti lebih banyak makhluk?

Sebenarnya, apakah kita ada disini sebagai monster perusak?

Entah mengapa, dari sini aku menyadari, bahwa manusia itu makhluk Tuhan yang tak tahu malu. Menikmati segala fasilitas Tuhan dan menganggap dirinya utama untuk diprioritaskan hidup dengan nyaman di muka bumi ini, dan mungkin karena merasa sebagai makhluk yang tercipta dengan sempurna, lantas merasa dirinya utama dan tidak punya sopan-santun dan adab buat menginjakkan kaki diatas fasilitas Tuhan ini.
Jadi, sadar ataupun tidak, ingat dan pikirkanlah segala upayamu sampai saat ini untuk bertahan hidup dan segala usahamu menciptakan kehidupan yang nyaman di muka bumi ini.

Sudah berapa banyak makhluk ciptaan Tuhan yang kau korbankan demi egomu??

Bersyukur, diciptakan sebagai manusia??
Puas??