Sabtu, 26 Oktober 2013

Knowledge is My Right


Baru saja kemarin malam saya bertemu seseorang. Laki-laki bersama istrinya. pasangan muda. Terjadi percakapan singkat kemudian...
istri: "semester berapa, dek sekarang?"
saya: "semester 5 mbak..."
istri: "wah, berarti kapan lulusnya?"
saya: "Insya Allah 3 semester lagi."
istri:"wah, cepet ya. trus, mau lanjut lagi, S2?"
saya: "kalau ada rezeki, tentu ingin mba..."
istri: "mmm, adek perempuan suamiku mau ambil S2 tahun ini." (sambil tersenyum kecil) "abangnya kalah..."
suami: "kalah-kalahan?mana ada? padahal dia udah aku kasih tau berkali-kali, buat apa ambil S2 segala, tapi ngga digubris.yo wes..."
saya: "memangnya kenapa kalo sekolah lagi?"
suami: "ya kalo ada manfaatnya, bisa kerja, nggak papa. lha kalo nggak ada manfaatnya, buat apa? wong perempuan kok..."

Pandangan orang memang berbeda-beda ya? Yang masih tak bisa kupercaya, di era emansipasi ini, di era globalisasi ini, yang segala sesuatunya serba maju dan memungkinkan kita berkembang dengan pesat, masih ada seorang muda terpelajar berpandangan seperti itu terhadap perempuan. Tuhan menciptakan ilmu yang begitu indahnya dan kita bisa memilih mana yang kita inginkan. Ketika kita memulai nafas di dunia ini, kita juga melalui gerbang menuju dunia ilmu, di sana, seperti di wonderland, di sana kita bebas ingin memilih permainan apa, dalam hal ini ilmu dianalogikan sebagai permainan.
Saat menuntut ilmu, saya merasa dekat dengan Tuhan. Tuhan mencintai orang yang beriman dan berilmu dan tiada yang mengetahui ilmu selain atas kehendak-Nya meliputi kursinya di langit dan bumi.
Muda, intelek, kritis dan cerdas. tapi sayang, begitu mudah beliau dikotomi ilmu. Mungkin memang di luar sana banyak sarjana menganggur, banyak master yang masih luntang-lantung mencari kerja. Tapi coba pandanglah sesekali bahwa bukankah tidak ada salahnya kita menuntut ilmu sampai tinggi. Menuntut ilmu dengan ikhlas, akan tetap membawa hal baik bagi kita. Anda suka sekolah? sekolahlah terus, di mana pun dan kapanpun.
Menyedihkan mendengarnya, saat kita dilarang menuntut ilmu yang kita sukai.
Beliau pernah di lain waktu juga mengatakan, bahwa perempuan tak perlu terlalu tinggi bersekolah, pada akhirnya hanya akan mengurus anak di rumah. hey!!! Big no, bung!! Tak perlu sekolah tinggi? Selagi waktu masih memungkinkan kita menuntut ilmu, kenapa harus tidak perlu? Selagi kita menyukai dan menikmati menuntut ilmu, kenapa harus tidak perlu sekolah tinggi? Kami masih muda, dan kami belajar bertanggungjawab. Semua wanita ingin menjadi wanita yang baik dan sukses dunia-akhirat. Jika kita masih muda, belum memiliki calon pendamping hidup dan keluarga untuk apa menyia-nyiakan waktu? Kenapa tidak kita menuntut ilmu sebanyak-banyaknya? Wanita tidak boleh bodoh karena dari mereka lah nati anak-anak akan dididik dan dibesarkan. Semua orang memiliki jalan menuju masa depan. manusia tak perlu mengatur hidup kita, Tuhan lah yang lebih pantas memilihkan jalan buat kita.
Pembicaraan singkat itu membawa saya ke dalam penelaahan. Dikotomi ilmu itu menyakitkan. Pelarangan menuntut ilmu apalagi. terlebih hanya karena objek yang dibicarakan adalah wanita. Hari ini, di era seperti ini, tak bisa kupercaya, masih ada orang bertitel yang berpikiran kolot. Semoga saja hanya 1 orang, kalaupun lebih, jangan sampai melebihi jumlah orang yang berfikir fleksibel karena dunia ini bisa kembali ke zaman jahiliyah. Aisyah ra, sayyidatil Fatimah sekalipun merupakan wanita cerdas meski hidup pada masa yang tak semudah saat ini. Ketika kita memiliki kesempatan, kenapa tak dimanfaatkan? Jika ilmu itu adalah karunia, mengapa kita harus membuat peraturan sendiri untuk menutup mata darinya?  
>Mereka yang menjadi korban adalah mereka yang tak dapat menerima.
Pada tahap ini mungkin saya telah menjadi yang tak dapat menerima perbedaan pandangan orang tersebut. Tapi bagaimanapun juga, ilmu adalah hak manusia dan wanita juga manusia.

You are always free to change your mind and choose a different future or a different past.
-Richard Bach-