Minggu, 24 Mei 2020

Lebaran dan Esensi Saling Bermaafan

Ya, lebaran di tengah pandemi ini rasanya sangat berbeda dari lebaran-lebaran sebelumnya.
Biasanya, kita bisa berkumpul, berjabat tangan, saling bercengkrama, ditanya ini-itu, termasuk pertanyaan mengganggu seperti "kuliah dimana?" "Kerja apa?" "Kapan kawin?" "Kapan punya anak?" Dst.
Lebaran kali ini, kita diberi ketenangan oleh Allah Swt.
Sesuai dengan himbauan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial, akhirnya silaturahim yang biasanya menjadi ciri khas hari raya ini pun tidak bisa dilakukan, dan sebagai alternatifnya, mengingat kita hidup di era digital yang pesat, silaturahim dan tradisi halal bi halal pun dilakukan melalui daring. Pagi ini, mungkin sebagian besar orang disibukkan dengan memasang status ucapan selamat hari raya, kemudian mengirim ucapan secara pribadi untuk kerabat yang ada dalam kontak, atau bahkan ada juga yang melakukan telepon atau video call demi bisa mengucapkan selamat hari raya dan memohonkan maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Pagi ini, seperti biasa, saya mengirim pesan khas idul fitri tersebut untuk kerabat saya. Terutama yang sudah saya anggap seperti orangtua sendiri, yakni guru dan dosen-dosen saya.
Yah, begitulah khasnya hari raya. Di dalamnya tetap ada ciri khas hari raya yang bahkan tidak hilang karena pengaruh pandemi. Yaitu tradisi saling memaafkan. Dan tradisi saling memohon maaf melalui sosial media bukanlah hal baru, sebenarnya. Tapi ada satu hal yang saya tidak pernah tidak menemuinya setiap hari raya tiba. Yaitu, ketika sebagian orang berfikir bahwa meminta maaf melalui sosial media itu tidaklah sopan dan terkesan tidak sungguh-sungguh. Dilihat dari? Karena itu bukan ucapan langsung, lebih seperti ucapan atau puisi yang bisa di copas sesuka hati untuk dikirim. Well, saya bukan termasuk orang yang anti dengan sistem ini. Saya bisa memahami bahwa intinya semua orang, di hari raya ini menginginkan dirinya ikut menjadi bagian, dan sekaligus ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Terlepas dari apakah meminta maaf itu sopan atau tidak dalam standar sebagian orang.
Pagi ini  seperti biasa, Rena, teman saya yang beragama katholik mengirim ucapan selamat hari raya untuk saya, sekaligus memohon maaf lahir dan bathin. Entah, apakah dia mengarang kata-kata itu sendiri atau terinspirasi dari kiriman orang lain (baca:copas). Bagi saya, itu tidak penting. Saya, sangat menghargai niatannya untuk menyampaikan itu kepada saya.
Ya, demikian halnya dengan orang-orang lain yang mengirim pesan copasnya kepada saya. Insya Allah, saya yakin orang itu tetap memiliki kesadaran bahwa pesan yang dikirimnya adalah sebuah permohonan maaf lahir dan bathin, dan saya akan insya Allah juga akan memaafkan sebagaimana saya berharap dimaafkan juga.
Biasanya, dari pesan itu, percakapan akan berlanjut dan di situlah silaturahim kemudian tersambung kembali dengan rasa yang lebih indah karena diawali dengan saling memaafkan.
Oh tapi...saya tentu tidak akan menentang orang-orang yang berfikir bahwa tindakan seperti itu (mengirim ucapan selamat hari raya dan mohon maaf yang -kayaknya- copas atau broadcast message) loh! Hehe. Silahkan saja berfikir demikian, insya Allah saya bisa memahaminya. Ada sebagian orang yang memilih untuk tidak membalas pesan yang terkesan copas, seolah tak ditujukan secara pribadi untuknya. Saya bisa memahami sudut pandang itu. Dan, adalah hak Anda untuk membalas atau mengabaikan pesan itu.
Tapi, saya berfikir, entah diucapkan secara langsung ataupun tidak, esensi dari meminta maaf dan saling memaafkan bukanlah pada metode penyampaiannya. Bukan tidak mungkin, orang yang meminta maaf secara langsung, berjabat tangan, juga 'copas' karena ucapannya adalah ucapan yang sudah biasa diucapkannya pada hari raya, dan tidak diikuti dengan niat kesungguhan meminta maaf. Kita tidak pernah tahu itu. Saya ingat pesan alm salah satu guru saya pernah berkata, bahwa pada dasarnya kembali suci adalah kembali pada fitrah dimana manusia memiliki banyak kekhilafan, maka memohon ampunlah kepada Yang Maha Kuasa. Salah satu caranya adalah, dengan memaafkan sesama. Maafkanlah sesama sebagaimana kita berharap Tuhan memaafkan kita. Bahkan diucapkan atau tidak, semestinya kita sama-sama menyadari bahwa kita memiliki kesalahan baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia, dan sekaligus menyadari bahwa kita harus menjadi manusia yang mau memaafkan, karena nyatanya kita sendiri pun tidak sempurna.

Memohon maaf, dan memaafkan. Nyatanya bukan sekedar bagaimana metode penyampaiannya, tapi juga bagaimana kita benar-benar menginsyafi kesalahan dan sekaligus memaafkan kekhilafan orang lain. Jawabannya ada di dalam hati kita masing-masing. Sudah benarkah kita dalam memahami esensi saling memaafkan?

-mohon maaf atas kesalahan prasangka, tutur kata dan perbuatan. Semoga Allah mengampuni kita semua-

Hening Syawal

Hari ini, jatuh 1 Syawal 1441 H. Seperti Ramadhan yang hening yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, lebaran kali ini pun tak jauh berbeda.
Kita dihimbau untuk tidak melakukan takbir keliling, kemudian dihimbau untuk  melaksanakan sholat Ied di rumah, dan dihimbau pula agar tidak melakukan pertemuan halal bi halal dan semacamnya yang membuat sekelompok orang berkumpul secara ramai, sebagai salah satu upaya pencegahan penularan covid-19.
Saya ingat betul, beberapa minggu lalu seorang teman tiba-tiba mengirim pesan melalui chat di messenger Facebook saya. Dalam hati, sudah lama sekali nggak ngobrol sama teman saya yang satu ini. Sedikit say hi, kemudian dia bercerita bahwa dirinya terkena dampak negatif dari covid 19 berupa PHK. ya, dia di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Saya sadar betul, ya, memang kondisi ini telah menguji banyak orang dalam segala lapisan. Sampai-sampai teman saya, yang terkenal pintar ini pun, bisa di PHK oleh kantornya di perantauan. Dia memutuskan tak pulang ke rumah karena takut menjadi carrier, pembawa virus, mengingat orangtuanya di rumah sudah cukup berusia. Dia bercerita bahwa dia akan berusaha untuk survive dan mencari penghasilan dengan cara lain di perantauan.
Bukan hanya teman saya, tapi ada banyak orang yang senasib dengannya. Atau, jika mereka lebih beruntung, mereka tidak terkena PHK, tapi, tidak bisa mudik ke kampung halaman karena pembatasan dari pemerintah.
Jadi, lebaran kali ini banyak sekali orang yang tidak bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. 
Di rumah saya, kami menyiapkan beberapa kudapan khas hari raya untuk menjamu tamu yang datang bersilaturahim. Malam takbiran, biasanya stoples penuh camilan yang lezat sudah tertata rapi di atas meja ruang tamu. Tahun ini pun begitu.
Shalat Ied di rumah saja, sedih, memang. Momen kemenangan, yang biasanya menjadi momen bahagia berkumpul dengan saudara-saudara di masjid ketika sholat Ied, tahun ini tidak bisa dinikmati. Tapi, di sisi lain, sholat Ied bersama keluarga, entah kenapa menjadi satu momen menyentuh buat saya. Salah satunya ketika ayah saya membacakan takbir dan terdengar beliau terisak di depan kami, di posisinya sebagai imam. Seketika ibu juga ikut menitikkan air mata. Saya dan adik saya pun juga. Ada keprihatinan, tapi di sisi lain kami sangat bersyukur Allah menghimpun kami dalam satu ruang penuh kehangatan ini seolah kami baru sadar Tuhan begitu dekat dan selalu melihat kami.
Selesai, kami saling bermaaf-maafan. Selepas itu, kami duduk-duduk di ruang tamu menikmati kudapan yang tertata diatas meja sejak semalam. Ya, kami menyiapkannya, duduk disana dan menikmatinya sendiri. Sedih, tapi jadi semakin terasa syukurnya, karena kami masih bisa duduk dengan makanan-makanan sederhana yang enak, di tengah kondisi yang memprihatinkan ini.
Tentu, kami berharap pandemi ini segera berakhir, namun demikian, kami berharap bahwa rasa syukur dan perasaan dekat denganNya itu masih tetap terus ada meski nanti pandemi ini telah berakhir.

Hening Ramadhan

Ramadhan telah berlalu. Tahun ini, semua pasti mengalami pengalaman berbeda dari Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, bahkan seumur-umur hidupnya di dunia. Yah, efek dari pandemi covid 19 ini memang dahsyat, membuat kita, bahkan tidak bisa bertemu dengan sanak saudara demi menjaga keselamatan diri dan orang lain. Tarawih, di tempat saya ditiadakan. Jadi, sangat sunyi rasanya bulan Ramadhan lalu yang malam biasanya ramai suara seruan shalawat di sela shalat tarawih, sampai suara tadarus, kemudian tak terasa dibangunkan oleh suara riuh anak-anak membangunkan sahur dengan berkeliling kampung membunyikan alat musik seadanya. Sunyi. Semua itu tidak bersuara lagi.
Tapi, di sisi lain, kita juga patut bersyukur, ketika pandemi ini pun, membawa berkah bagi kita untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Shalat jamaah di rumah bersama-sama. Saling membangunkan sahur, dan mengisi kesunyian ramadhan dengan meramaikan rumah melalui tadarus. Semua seolah ter set untuk menjadikan kita lebih khusyu meraba kedalaman spiritual kita dengan Sang Pencipta.
Ditambah lagi dengan pemberlakuan pembatasan sosial, membuat banyak orang mengurungkan niat untuk mengikuti buka bersama yang biasanya begitu hits ketika Ramadhan tiba.
Jujur, saya termasuk orang yang nggak rela banget kalo waktu Ramadhan ini diganggu gugat, terutama di jam-jam krusial setelah berbuka puasa. Rasanya, dibandingkan berkumpul di restoran atau rumah seseorang, jika boleh memilih, saya tidak mau kehilangan momen untuk berduaan saja dengan Yang Diatas.
Well, yah, sebagian orang mungkin akan mengatakan saya naif, atau sok, atau kaku, atau apalah itu. Tapi memang, jujur saja, ketenangan di bulan Ramadhan yang penuh sentuhan spiritual itu begitu mahal buat saya. Jadi, rasanya sangat sayang sekali jika harus kehilangan 1 malam saja di waktu-waktu tersebut, sekalipun niatnya untuk menjalin silaturahim. Hmm saya suka silaturahim, tapi lebih suka sendiri saja di jam-jam tersebut. Hehehe. Ini opini pribadi.
Kecuali kalau saya memang sedang tidak bisa menjalankan ibadah tersebut, maka saya bisa pertimbangkan untuk ikut buka bersama. Tapi lebih banyak, perasaan saya lebih nyaman untuk me-time dan mencari ketenangan sendiri. Dan, covid 19 ini membuat saya mudah tanpa harus menolak sana-sini ajakan buka bersama.
Tahun ini saya belajar memaknai Ramadhan bukan hanya sekedar euforia. Bukan nuansa meriahnya, namun bagaimana Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa Ramadhan adalah menghidupkan diri dalam kesunyian, meramaikan hati dengan cinta kepadaNya, meski dalam kesendirian.
Saya berharap, semoga covid 19 ini segera berakhir, tentu saja. Tapi di sisi lain, saya berdoa semoga jika Allah menghendaki saya bertemu Ramadhan-Ramadhan selanjutnya dalam hidup saya, saya masih bisa menikmati momen indah mendekat padaNya, dengan kekhusyu-an seperti Ramadhan tahun ini.

Kamis, 07 Mei 2020

眠れない夜 Can't sleep

I'm telling you
I softly whisper
Tonight...tonight...
You are my angel

愛してるよ
2人は1つに
Tonight...tonight...
I just to say

Wherever you are i always make you smile
Wherever you are i always by your side
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

I don't need a reason
I just want you, baby
Alright...alright...
Day after day

この先永いことずっと
どうかこんな僕とずっと
死ぬまで、stay with me
We carry on

Wherever you are i always make you smile
Wherever you are i always by your side
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

Wherever you are i never make you cry
Wherever you are i never say goodbye
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

僕らが出逢った日は
2人にとって1番目の記念すべき日だね
そして今日という日は
2人にとって2番目の記念をすべき日だね

心から愛せる人
心から愛しい人
この僕の愛の真ん中には
いつも君がいるから

Wherever you are i always make you smile
Wherever you are i always by your side
Whatever you say,
君を想う気持ち
I'll promise you forever right now

Wherever you are
Wherever you are
Wherever you are

(ONE OK ROCK-Wherever You Are)


Hahaha...lagu lama banget ya.
Iyasih. Gatau kenapa malam ini dengerin lagu ini jadi ngerasa,

Betapa beruntungnya mereka yang bisa saling mencintai seperti lagu ini. Baiklah, aku iri banget haha. Bisa gak, 'cinta' terasa seindah yang diungkapkan di dalam lagu ini?

Well...
Aku suka banget kata-kata ini "wherever you are, i always by your side".
Entah kenapa seluruh lirik di lagu ini sejalan banget sama definisi cinta menurutku pribadi. Dia give give give give wkwkwk, lebih banyak mengungkapkan upaya dia untuk mewujudkan rasa cinta itu berfokus pada yang dicintai, bukan tentang perasaan dia melulu. Mungkin karena saking cintanya ya, jadi dia sebegini pengen menyamankan yang dicintainya.
Baiklah, Moriuchi Takahiro, makasi udah buat lagu se baper ini.