Jumat, 06 Desember 2019

Don't judge a book

Kapan-kapan, mungkin kita bisa berkenalan...


Hari ini, aku pergi ke pameran buku. Ada banyak buku dijual dari yang harganya mahal dan best seller, hingga yang diobral 10 ribuan. Aku bingung memilih buku mana yang ingin kubaca. Kutatap satu per satu, sesekali aku ambil dan kubaca sinopsis di sampul belakangnya. Tak lupa, tentu saja melihat banderol harganya. Teringat sebuah ungkapan "don't judge a book by its cover". Katanya, kita gak boleh menilai buku dari sampulnya saja. Aku melihat ada banyak buku dengan berbagai sampul yang menarik. Merepresentasikan, betapa dunia desain grafis pun berkembang begitu pesat. Bahkan, dengan membaca judul dan ilustrasi di sampul bukunya, bisa membuat kita tertarik. Paduan warna juga berpengaruh. Tak heran karena kita memiliki mata dan hampir selalu menarik kesimpulan berdasarkan apa yang kita lihat. Sampulnya indah, warnanya begitu menenangkan, judulnya pun menarik. Tak jarang, dari situlah alasan membeli pun muncul. Kita punya selera, dan kita punya mata. 

Jangan menilai buku dari sampulnya...
Tapi apa yang bisa kunilai dari sebuah buku yang dijual di pameran, selain penampilannya? Kenampakannya?
Buku itu semuanya terbungkus plastik pelindung agar tak kotor atau rusak. Tapi, dengan begitu, tentu aku tidak bisa membaca dan menilai isinya. Yah, tak ada harapan lain selain membaca sinopsis atau komentar para ahli di halaman belakangnya. Jika tidak ada, hmm...maka keputusan membeli atau tidak membeli hanya bisa diputuskan satu-satunya karena apa yang tampak di kedua mata kita.
Judul merepresentasikan isi dari buku itu sendiri. Dulu, aku pernah diberitahu oleh guru bahasa Indonesiaku, bahwa judul yang baik adalah yang bisa merepresentasikan isi dari cerita. Lantas, apakah semua penulis buku menggunakan cara yang sama dalam merepresentasikan isi bukunya dalam judul? Tentunya tidak. Tak seperti skripsi yang judulnya telah membuat kita tahu garis besar isinya, penulis buku di pasaan punya strategi mereka sendiri dalam menarik minat pembaca. "Bukan untuk Dibaca", salah satu judul misterius nan menarik yang kulihat di pameran itu. "Hamdim, Pistim, Yandim" hah...apalagi ini? Judulnya misterius sekali, dan sampulnya juga berwarna unik, perpaduan warna krim, hijau dan merah muda. Demikianlah kurang-lebih buku di pameran dinilai melalui sampulnya. Hmm...yaa...mungkin para penulis juga sudah mempertimbangkan baik-baik pula, bahwa ternyata, sampul pun tak kalah pentingnya dengan isi. Karena ternyata, ketika dipasarkan kelak, buku yang ia tulis akan tersampul plastik segel dan tentunya, calon pembaca akan bernasib sama sepertiku, menilai buku dari kenampakan sampulnya dulu. 
Setelah aku menilai sampulnya, aku pun memutuskan untuk membeli beberapa buku. Setelah buku itu lunas menjadi milikku, barulah aku bisa membawanya pulang dan melepas plastik pelindungnya, sehingga bisa kubaca dan kunilai dengan sebenar-benar menilai. Kubaca dari halaman awal hingga akhir. Bereksemplar buku...dengan isi yang berbeda, dengan daya tarik yang berbeda. Ada yang judul dan sampulnya menarik, tapi ternyata isinya biasa saja. Ada juga yang sebaliknya, judulnya dan sampulnya tidak menarik, tapi isinya luar biasa. Ada juga yang judul dan sampulnya menarik, isinya pun menarik. Dan tentu ada yang sebaliknya pula, judul dan sampulnya tak menarik, isinya pun tak menarik.
Ah, buku yang ini samasekali tidak seru! Tidak menyenangkan. Membosankan. Ungkapku, kala membaca sebuah buku. Buku itu lalu dipinjam oleh salah seorang temanku, dan dia berkata, buku itu sangat bagus dan penuh pembelajaran. Di lain waktu, aku dan temanku jalan-jalan ke pameran buku, aku melihat sebuah buku dengan judul dan sampul yang begitu menarik perhatianku. Dan di balik sampulnya ada potongan quote dari mark twain, tokoh favoritku. Waktu kutunjukkan itu pada temanku, dia menggeleng dan menunjukkan ketidaktertarikannya yang sangat berbanding terbalik denganku.

Jadi, aku tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan "don't judge a book by it's cover"? Sementara, buku itu diterbitkan dan dipasarkan beserta plastik pelindung, yang membuatku tidak mungkin membacanya, kecuali pasca buku itu kubayar dan menjadi milikku. Dan selain itu, ternyata penilaian tentang bagus/tidak bagusnya suatu sampul dan isi dari sebuah buku sangatlah relatif dan tergantung dari persepsi serta selera orang yang membacanya. Setelah dibaca sampai akhir, barulah kita bisa tahu. Seiring dengan kita baca buku itu halaman per halaman, semakin kita memiliki penilaian. Bagi si A, mungkin buku ini bagus. Tapi tidak demikian dengan B. 

Beberapa tahun silam, adikku pulang sekolah membawa beberapa buku. Buku itu didapatkan dari sekolahnya yang baru saja selesai bersih-bersih perpustakaan. Beberapa buku kemudian diberikan kepada diswa yang telah membantu kegiatan bersih-bersih itu, sebagai imbalan. Buku-buku ini mungkin dianggap sudah tidak diperlukan, dan tidak relevan untuk dibaca siswa di sekolah, mungkin karena terlalu kuno. Mereka akan memperbarui koleksi di perpustakaan itu. Dengan bangga adikku memberikan salah satu buku kepada ibuku, judulnya "doa amalan dan dzikir pelunas hutang". Saat menerimanya, aku dan ibuku tertawa. Buku itu menarik, dari judul dan sampulnya membuat kami tertawa. Karena orangtuaku kebetulan termasuk manusia yang pantang akan berhutang materi. Dan pada saat menerima buku itu pun, kami sama sekali tak memiliki hutang materi kepada siapapun. Dengan kepolosan adikku yang masih SD yang mungkin berfikir bahwa banyak manusia dewasa yang memiliki masalah hidup ini : hutang. Jadi, kejadian ini sangatlah lucu bagi kami. Ya, karena kami hanya melihat sampulnya lalu merasa tak membutuhkannya.
Tapi, coba bayangkan jika buku itu diberikan kepada seseorang yang sedang benar-benar terlilit hutang dan sudah buntu? Mungkin, bisa jadi, dia akan sangat membutuhkan isi dari buku itu untuk menyelamatkannya, setidaknya, menenangkan jiwanya.

Yah...
Seperti itu pulalah kurasa, perjumpaan kita dengan sesama manusia. Kamu, mungkin tidak akan mengenaliku secara menyeluruh dari sampul dan judulku. Kamu harus membacaku dari halaman per halaman untuk benar-benar tahu, siapa aku.  Begitu pula aku, yang perlu untuk membacamu agar tahu yang sebenarnya. Bukan, bukan untuk mendekatkan. Hanya sekedar agar kamu tahu siapa aku, dan sebaliknya. Pepatah bilang, tak kenal, maka tak sayang. Menurutku, jangankan sayang, kamu bahkan tidak akan tahu aku yang sebenarnya. Jadi, kamu hanya akan melihat judul dan sampulku dari luar plastik pelindung. Jika kamu membacaku dari halaman awal hingga akhir, maka barulah kamu bisa menilaiku dengan sebenar-benar. Meskipun penilaian itu belum tentu benar. Kamu dan aku hanya akan menilai berdasarkan selera kita masing-masing. Bisa jadi menarik, atau tak menarik sama sekali. Itu semua tergantung persepsi dan selera kita. Lalu, jika kamu membaca setiap halaman demi halaman dan ternyata tak semenarik yang diharapkan, apakah lantas kamu akan meletakkan buku itu di gudang?
Dibandingkan itu, di beberapa sisi kadang  aku lebih menghargai mereka yang menilai buku dari sampulnya sesuai dengan selera mereka. Membaca sinopsis atau penilaian tokoh di sampul belakangnya, melihat banderol harganya, kemudian memutuskan untuk membeli atau meletakkannya kembali tanpa merusak plastik pelindungnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar